The Lost and Love [FILE 4]

By : Vi 

Cast : Oh Sehun (EXO), Im Nayoung (OC)

Genre : Marriage Life, Romance, Angst

Length : Chaptered

Rating : PG-17

Disclaimer : I own the plot and the stories. This story is purely mine, I created it myself from my own wild imagination. Cast besides OC(s) belongs to God and their relatives. I might have posted this story on another blog. Last but not least, please don’t be plagiators and siders! Thank you for your concern.

WARNING FOR TYPOS!

Previous

FILE 1 // FILE 2// FILE 3

.

.

.

.

.

Ia sepertinya pernah berkunjung ke tempat ini sebelumnya. Tapi kapan? Ah, sial. Kepala Nayoung berputar tidak karuan sekarang, pusing bukan main. Sudah tahu tidak kuat minum, tapi semalam ia berlaga sok kuat lantaran terlalu bingung dengan apa yang harus dilakukannya.

Kepala Nayoung kembali berdenyut saat hendak mencoba mengingat di mana kira-kira ia pernah melihat tempat ini. Sofa yang kini ia duduki juga tidak asing. Sambil memegang kepalanya yang terasa bisa pecah kapan saja, ia mengedarkan pandangnya ke seluruh penjuru ruangan. Berharap bisa mendapat petunjuk walau sedikit saja. Alih-alih mendapat pencerahan, kini perutnya justru berulah. Perutnya bergejelok tidak karuan dan dengan segera ia berlari mencari tempat yang tepat untuk membuang apa pun yang mendesak perutnya sekarang.

Nayoung terlalu sibuk muntah sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang sedang memandangi punggungnya dari balik meja makan. Wajahnya kelewat datar dan tidak menunjukkan minat untuk membantu sama sekali. Gadis itu mengeratkan pegangannya pada pinggiran wastafel lalu mengatur nafasnya. Ia menadahi air dengan kedua tangannya lalu berkumur.

“Kalau tidak bisa minum jangan minum. Cih.” Sontak Nayoung langsung menyemburkan semua air dalam mulutnya dan hampir tersedak karena perkataan Sehun yang tiba-tiba. Takut-takut Nayoung menoleh dan selama beberapa detik berusaha mengenali wajah yang sepertinya familier di depannya ini. Dan sekon selanjutnya, kedua mata gadis itu membola sempurna.

“KAU! YA, APA YANG—MPHH!” Teriakan Nayoung terhenti kala tangan Sehun membekap mulutnya dengan sigap. Ia tidak ingin membuat tetanggganya berpikir yang tidak-tidak. Kalau Nayoung hendak berteriak bahwa Sehun pria mesum lagi, bisa-bisa tetangganya datang berbondong dengan garpu ladang dan obor lalu menggedor-gedor pintu apartemennya. Baiklah, Sehun sedikit berlebihan.

YA! Kau bisa tidak, sih, tidak berteriak?!” Nayoung tetap meronta dalam bekapan Sehun yang berada di belakangnya. Seperti posisi para penculik yang sedang membius korbannya. Gadis itu meronta sekuat tenaga. Namun tidak menghasilkan apa pun, karena tenaga Sehun jauh lebih kuat.

“Aku ini tidak macam-macam denganmu! Sudah ditolong, bukannya berterima kasih. Dasar.” Nayoung berhenti meronta dan Sehun sepertinya mulai kelelahan juga menghadapi setiap kali tubuh Nayoung berjingkrak sambil menendang tak tentu arah. Nayoung menarik tangan Sehun yang menutupi mulutnya dengan sekali hentakan saat dirasa bekapan pria itu sudah melonggar.

“Lalu bagaimana bisa aku berada di apartemenmu LAGI, huh?!” tanya Nayoung dengan penekanan pada kata ‘lagi’. Sehun baru hendak membuka mulutnya ketika Nayoung sudah mencercanya dengan celotehan panjang. “Kau mau mencuri kesempatan dnegan gadis malang sepertiku, kan?! Iya, kan?! Sudah kuduga. Aku ini memang bukan anak kota, tapi aku tidak bodoh, asal kau tahu!” ucap Nayoung dengan satu tarikan nafas panjang. Sehun hanya memandangi gadis di depannya ini seolah melihat spesies baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya, aneh.

“Sudah kubilang, aku hanya menolongmu. Kau tahu tidak, kalau semalam kau itu mabuk? Dan bisa saja jadi sasaran empuk para pria berhidung belang yang melewatimu,” timpal Sehun. Wajahnya masih saja tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam celana trainingnya sambil bersandar di meja makan dan berhadapan dengan Nayoung. Sementara Nayoung hanya melongo mendengarkan penjelasan Sehun sambil sedikit demi sedikit mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan ingatannya tentang semalam yang sudah berceceran.

“Tunggu di sini sebentar,” kata Sehun tiba-tiba. Ia beralih keluar dari dapur dan tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup kembali. Sepuluh detik setelahnya, Sehun kembali. Nayoung masih saja berusaha mencerna kata-kata Sehun dan menyambungkannya dengan memorinya. Ia tidak berusaha kabur kali ini. Tiba-tiba Sehun menyodorkan sesuatu dari dalam saku celana trainingnya.

“Ini dompetmu. Tertinggal waktu itu.”

Tangan Nayoung perlahan bergerak untuk meraih dompetnya dari tangan Sehun dengan tatapan curiga. Dengan kecepatan kilat, ia menyambar dan mendekap dompet itu erat-erat seperti baru saja menemukan anaknya yang hilang. Tapi dirinya tidak mengatakan apapun pada Sehun. Hanya memandangnya dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan penuh selidik.

“Mana ada orang jahat yang mengembalikan dompet korbannya?” Pertanyaan itu membuyarkan kegiatan Nayoung.

“Kalau orang jahat mengaku, penjara pasti penuh,” balas Nayoung tak mau kalah.

“Terserah.”

Nayoung hanya terdiam dan memberi tatapan tajam pada Sehun. Orang di depannya ini benar-benar menyebalkan. Sehun menatapnya sejenak sebelum kembali melanjutkan, “Aku punya tawaran untukmu. Kudengar kau butuh uang banyak dalam waktu dekat. Apa aku benar?”

Mata Nayoung kembali membola. “D-dari mana kau tahu?”

Sehun menaikkan sebelah alisnya lalu menjawab, “Kau benar-benar tidak ingat apa yang kau katakan saat mabuk semalam?” Nayoung hanya menggeleng dengan ekspresi yang kelewat polos. Andai saja Nayoung tahu apa yang telah ia perbuat semalam. Mungkin ia akan leibh memilih untuk bersembunyi di balik selimut seumur hidupnya karena malu.

“Aku bisa memberikan lima puluh juta won kalau kau mau menerima tawaranku.” Nayoung terkejut untuk yang kesekian kalinya. Sepertinya ada yang salah dengan otaknya sekarang. Dan Sehun mulai jengah dengan Nayoung yang tak kunjung memberikan respon.

“Kau mau membantu Ibumu, tidak?”

Ibunya.

Benar, tujuan Nayoung datang ke Seoul tidak lain dan tidak bukan adalah demi ibunya.

“Aku mendengarkan.”

“Aku bisa memberikan lima puluh juta won besok kalau kau mau pura-pura menjadi calon istriku nanti malam.”

“APA?!” Sehun menutup kedua teliganya saat Nayoung kembali berteriak. Astaga, kalau seperti ini terus, Sehun rasa, ia bisa tuli di usia muda.

Ck, jangan potong pembicaraanku. Kau juga harus menikah denganku.” Jadi, Sehun mengajak Nayoung menikah secara blak-blakan. Lamaran macam apa ini?

“KAU SUDAH GILA?!”

“Mau membantu Ibumu atau tidak?” Pertanyaan itu kembali muncul dari bibir Sehun dan seakan menjadi mantra sihir bagi Nayoung. Mendengar ibunya disebut, insting Nayoung untuk membantu Ibunya selalu langsung muncul. Tapi penawaran pria itu terlalu gila. Dirinya masih terlalu muda untuk menikah. Oh ayolah, Nayoung adalah pribadi bebas yang tidak suka dikekang. Kalau menikah ruang geraknya akan menjadi sangat terbatas. Pemikiran-pemikiran seperti itu langsung memenuhi kepala Nayoung sebelum Sehun embali membuyarkannya.

“Ini tidak seperti pernikahan yang kau bayangkan. Setelah menikah, kau dan aku hanya akan tinggal bersama tapi sisanya, kita akan hidup seperti biasa. Kau dengan kehidupanmu, dan aku dengan kehidupanku.”

“Kau tidak salah mengajak sembarang orang menikah denganmu?” tanya Nayoung. Sebelah alisnya terangkat dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

“Kata siapa sembarang orang? Aku tahu namamu. Im-Na-Young.” Sehun memberi penekanan pada setiap silabel nama milik Nayoung yang lagi-lagi membuat gadis itu terkejut. Padahal seingat Nayoung ini bukanlah hari ulang tahunnya, tapi mengapa banyak sekali kejutan untuknya hari ini? Entahlah, memikirkannya saja sudah dapat membuat kepala Nayoung ingin pecah.

“K-kau stalker, ya?”

Ck, kau ini banyak tanya. Bagaimana penawaranku?”

“Siapa namamu?”

“Oh Sehun.”

“Ah, ya. Sehun-ssi….jadi, kau benar akan memberi uang itu padaku?”

“Kau tidak percaya padaku? Kau mau minta cash juga bisa kuberikan.”

Alis Nayoung naik sebelah. Orang di depannya ini percaya diri sekali rupanya. Tapi Nayoung agak ragu dengan penawaran ini. Lagipula yang  benar saja, ia masih terlalu muda untuk menikah. Ia ingin menikmati masa mudanya. Namun, jika dipikir-pikir lagi, apa yang bisa ia nikmati pada masa mudanya? Tidak ada yang bisa ia lakukan juga. Di sisi lain, ia juga tergiur dengan tawaran Sehun. Lagipula menikah yang dimaksud di sini bukanlah menikah dalam artian yang sesungguhnya. Kau tahu? Seperti menikah karena cinta, membangun keluaga kecil bersama, dan hidup bahagia selamanya. Oh, tidak, bukan sama sekali. Nayoung sadar betul dengan pilihan apa yang menghadangnya sekarang. Dan ia memutuskan, untuk kali ini ia tidak boleh egois. Ia harus menolong ibunya. Ibunya sudah cukup menderita selama hidupnya, jadi biarlah sekarang Nayoung yang berkorban.

“Baiklah aku setuju.”

Giliran Sehun menatap Nayoung heran. Gadis ini berani juga rupanya, pikir Sehun. Kedua tangannya ia lipat di depan dada sambil bersandar di meja makan, ia lantas bertanya, “Kau yakin?”

“Aku butuh uang. Dan kau butuh bantuanku, bukan? Kurasa kita tidak punya pilihan lain di sini. Bukankah begitu, Oh Sehun-ssi?

Pemuda jangkung itu menatap Nayoung sebelum akhirnya  kembali berujar, “Baiklah, mandi dan bersiaplah.”

Kening Nayoung mengkerut. “Bersiap untuk apa? Lagipula aku tidak punya baju ganti.”

Tanpa mengatakan apa-apa Sehun kembali melambungkan langkahnya lebar-lebar entah menuju ke mana. Menurut Nayoung, Sehun itu tipe orang yang talk less do more. Buktinya menjawab pertanyaannya susah sekali. Mengeluarkan sepatah dua patah kata untuk menjawabnya tidak akan membuat lidahnya buntung, kan? Dasar.

“Pakai ini,” kata Sehun sembari memnyodorkan kaus hitam polos miliknya dan selembar handuk pada Nayoung. Tanpa ragu gadis itu juga langsung menyambut kaus dan handuk yang diberikan Sehun. Langkah kaki Nayoung terhenti dan tiba-tiba gadis iitu berbalik menatap Sehun yang memandangnya seolah berkata ‘ada apa?’.

“Em…kamar mandinya di sebelah mana?”

“Dalam kamarku. Lurus terus, pintu sebelah kiri.”

Setelah mengangguk menanggapi jawaban Sehun, ia kembali melangkah.

Lurus terus, pintu sebelah kiri.

 Sebenarnya ada kamar mandi satu lagi di luar kamarnya, tapi berhubung tidak pernah dipakai juga, Sehun jadi ragu apa kamar mandinya yang di luar kamar itu layak disebut kamar mandi atau tidak.

Di dalam kamar Sehun ada dua pintu lagi. Saat Nayoung mencoba untuk membuka salah satunya, ternyata dikunci. Jadi sepertinya pintu di sisi kanan ranjang Sehun itu adalah kamar mandi yang dimaksud Sehun.

****

Saat Nayoung keluar dari kamar Sehun, pria itu sudah berpakaian rapi. Pria berkulit pucat itu membalut tubuhnya dengan kemeja putih yang lengannya sudah digulung sebatas siku dan dipadukan dengan celana kain berwarna hitam. Rambutnya juga sudah disisir rapi ke atas. Astaga, Nayoung baru sadar kalau Sehun ternyata lumayan juga. Baiklah, Sehun tampan. Oke, oke, sangat tampan! Puas?!

“Kita mau ke mana?”

“Pakai sepatumu.”

Pemuda itu memang benar-benar. Ditanya apa, malah dijawab apa. Anehnya, Nayoung malah menuruti semua yang pemuda itu suruh. Entah kenapa suara Sehun membuat Nayoung kadang bergidik ngeri sendiri karena ia bisa memndengar dengan jelas nada otoriter berpadu dengan sedikit arogansi di sana. Kalau begini caranya, lama-lama ia bisa jadi pesuruh seorang Oh Sehun. Sambil menggumam sebal Nayoung memakai sepatunya. Dalam hati mengata-ngatai Sehun dengan semua kata-kata yang layak pria itu sandang.

“Aku dengar,” ucap Sehun yang membuat Nayoung menghentikan monolognya tapi tidak mengurangi kesalnya. Saat selesai memakai sepatu, belum sempat Nayoung mengambil nafas, Sehun sudah menyeretnya keluar dari apartemen. Kalau saja Sehun bukan orang yang akan memberinya uang, mungkin Nayoung sudah akan menjepit tubuh Sehun dengan pintu lift.

****

Ternyata Sehun membawanya ke toko baju di daerah Apgujeong. Nayoung pernah dengar kalau barang-barang di sini mahal-mahal. Dan itu terbukti dengan matanya yang hampir keluar dari tengkoraknya ketika melihat label harga pada salah satu dress yang menarik perhatiannya. Sehun membawanya untuk membeli pakaian dan segala embel-embel lainnya untuk Nayoung pakai saat makan malam nanti. Tapi harganya terlalu tidak manusiawi bagi Nayoung. Bagaimana bisa sehelai kain bisa semahal itu? Memangnya dijahit dengan benang emas?

“Ada yang kau suka?” Nayoung menggeleng lalu mendekat ke telinga Sehun untuk berbisik, “Harga dress ini bahkan lebih dari harga makananku dan Ibu selama seminggu.” Sehun terkekeh karena perkatan Nayoung yang kelewat polos.

“Sudah cepat ambil satu yang kau suka. Kita tidak punya banyak waktu.”

Nayoung mendengus sebal lagi mendapati Sehun yang memerintah seenaknya. Mungkin memang sudah menjadi trade mark seorang Oh Sehun. Dan gadis itu baru ingat kalau hari ini hari Minggu ketika hendak bertanya apa Sehun tidak bekerja.

Mereka berjalan keluar dari butik dengan Nayoung yang menenteng tas belanjaan di tangan kirinya. DI dalam mobil, keduanya hanya terdiam sebelum akhirnya muncul satu pertanyaan di otak Nayoung.

“Kau…apa pekerjaanmu?”

“Kau ingat kemarin saat menabrakku?” Nayoung mengangguk. “Aku direktur di perusahaan itu.”

“APA?!”

Sehun hampir saja membanting kemudi mobil ke arah berlawanan saat Nayoung berteriak (lagi). Dan Sehun baru ingat kalau tidak lama lagi, ia harus tinggal seatap dengan Nayoung. Ya Tuhan, semoga apa yang diputuskan Sehun ini benar adanya.

Gadis itu seharusnya tidak sekaget ini, karena tempo hari, Hyesoo dan rekan-rekannya sudah menceritakan siapa itu Sehun kepadanya.

****

Suasana makan malam keluarga ini jauh dari ekspektasi Nayoung. Maksudnya jauh, secara harafiah benar-benar jauh. Ia kira orangtua Sehun akan menyambut anaknya. Ya setidaknya sedikit basa-basi keluarga seperti yang keluarga pada umumnya lakukan. Namun Nayoung menyimpulkan sesuatu pada keluarga ini. Kalau mereka, bukanlah keluarga pada umumnya.

Ibu Sehun duduk di seberang Nayoung. Makan dengan gaya yang terlalu dibuat-buat. Saudara laki-laki Sehun (yang Nayoung tidak ketahui sama sekali eksistensinya) duduk di seberang Sehun. Sementara orang yang Nayoung tebak sebagai ayah Sehun, duduk di paling ujung meja makan di apit Sehun dan kakak laki-lainya. Di sisi lain, Nayoung daritadi hanya menunduk memandang sup di depan wajahnya.

Dehaman suara berat ayah Sehun membuat Nayoung spontan mengangkat kepalanya karena ia entah mengapa merasa kalau dehaman itu ditujukan untuknya. Dan benar saja, ketika Nayoung mengangkat kepalanya, pria paruh baya itu tengah menatapnya.

“Jadi, kau kekasih Sehun?”

“Iya, Tuan.”

“Sudah berapa lama hubungan kalian?”

Sebelum Nayoung sempat menjawab, Sehun buru-buru menyambar karena melihat Nayoung yang gelagapan sendiri ketika ditanya. “Hampir setahun.”

“Apa pekerjaanmu?”

“Nayoung baru lulus kuliah.” Sehun berbohong. Nayoung bahkan tidak pernah berani menginjakkan kakinya di perguruan tinggi mana pun.

“Apa orangtuamu merestui hubungan kalian?”

“Ibunya sudah setuju.” Sehun berbohong untuk yang ke sekian kalinya. Rasanya, Nayoung ingin cepat-cepat pergi dari sini saja. Hidup kaya ternyata tidak seindah yang Nayoung bayangkan.

Entah ini hanya perasaan Nayoung, atau memang ia merasa saudara laki-laki Sehun, yang Sehun perkenalkan sebagai Kim Junmyeon itu, sedang memandanginya. Gadis itu jadi risih sendiri. Bagaimana dirinya bisa terjebak disituasi seperti ini?

Ibu tiri Sehun tiba-tiba berkomentar, “Kau tinggal dengan Ibumu?”

“Ah, tidak. Ibuku di Busan. Aku tinggal di Seoul bersama temanku.”

Raut wajah ibu tiri Sehun tidak terlihat senang sama sekali. Tatapan Yoon Ahyoung seperti sedang berusaha menguliti Nayoung hidup-hidup. Membuat gadis itu semakin ciut di kursinya.

Ahyoung mengangguk dengan gerakan yang menurut Nayoung terlalu dibuat anggun, gelungan rambut wanita itu ikut bergoyang sedikit. Terlintas di pikiran Nayoung berbagai macam pikiran tentang ibu tiri Sehun itu, seperti: apa jadinya makan malam ini kalau lampu kristal yang digantung di atas meja makan itu jatuh tepat mengenai kepala ibu tiri Sehun itu? Pasti suasana makan malam akan menjadi sedikit menyenangkan.

Apa yang baru saja aku pikirkan?

Buru-buru Nayoung menggelengkan kepalanya. Mencegah pikiran-pikiran liar lainnya yang mungkin bisa memenuhi isi kepalanya. Dan tangan Sehun yang menyentuh tangannya, juga sedikit membantunya sadar dari lamunannya, lalu menoleh ke arah pria itu. Nayoung baru sadar, kalau tangan Sehun terasa dingin. Membuat setruman aneh menjalari kulitnya ketika kulit Sehun menyentuh kulit miliknya.

“Kami akan menikah secepatnya.” Tangan Sehun kini menggenggam tangan Nayoung. Untuk sejenak, gadis itu sedikit terkesiap karena sentuhan Sehun yang tiba-tiba.

****

Makan malam berakhir setelah dua jam paling lama dan menyiksa semasa hidup Nayoung. Gadis itu bingung, bagaimana Sehun bisa betah tinggal dalam rumah dengan suasana seperti itu. Bukan bermaksud lancang, hanya saja, keadaan keluarga Sehun yang Nayoung bayangkan sangat jauh dari kenyataan yang baru saja menghadangnya.

Kini keduanya hanya membisu. Sehun bercengkrama hangat dengan kemudi mobilnya, dan Nayoung mengalihkan pandangannya ke jalan raya di balik jendela mobil, yang sejatinya tidak begitu jelas karena hujan deras yang turun. Setelah Sehun bertanya di mana rumah Nayoung dan gadis itu menjawab dengan alamat rumah Hyesoo, mereka tidak saling bicara lagi.

Di satu sisi, Sehun terkadang terlihat seperti orang yang tidak sulit untuk dijangkau, tapi tidak mudah juga. Di sisi lain, Sehun bisa terasa sangat jauh dan seakan terasa mustahil untuk Nayoung gapai.

Nayoung baru sadar kalau ia sudah sampai di tujuannya ketika pria di sebelahnya itu beberapa kali menyerukan namanya. Ia baru hendak turun dari mobil ketika Sehun menghentikan gerakannya dan menyodorkan sebuah kotak.

“Apa ini? Ponsel? Untuk apa kau memberiku ponsel?” tanya gadis itu  dengan dahi berkerut sambil mebolak-balikkan kotak pemberian Sehun. Ukurannya lumayan besar.

“Supaya aku mudah menghubungimu. Aku sudah menyimpan nomorku di situ.”

Setelah beberapa lama Nayoung terdiam, gadis itu justru menggeleng dan menyodorkan kembali ponsel pintar pemberian Sehun, yang sepertinya adalah keluaran terbaru dengan harga yang tidak murah.

“Aku tidak bisa mengambil ini. Tidak secara gratis,” ujarnya, “tidak ada yan gratis di dunia ini. Semua yang diberikan pasti harus dikembalikan.”

Alis Sehun naik sebelah. “Aku memberikan ini bukan karena aku berbelas kasih padamu, asal kau tahu.”

“Aku tidak mengharapkan belas kasihmu atau orang lain. Aku hanya telah membuktikan, kalau ada yang kau terima, pasti akan ada yang diambil darimu. Sudah kubilang, tidak ada yang gratis di dunia ini.”

Fine, kau bisa membayarnya dengan mulai bekerja di Sanders Group besok.”

“Apa?!”

“Tidak ada yang gratis, ingat? Datang pukul tujuh pagi ke ruanganku, dan jangan terlambat,” seloroh Sehun dengan nada otoriter yang kelewat kental. Dididik sedari kecil untuk menjadi pewaris perusahaan besar membuat Sehun menjadi orang yang benar-benar tidak bisa diragukan lagi kepemimpinannya. Membuat suaranya terdengar seribu kali lebih berwibawa dan berkarisma di rungu orang-orang. Termasuk Nayoung sendiri.

Gadis Im itu mengangguk cepat. Setelah turun dan mengucapkan terima kasih, Sehun pergi entah ke mana. Dan Nayoung tidak mau tahu sama sekali. Hari ini benar-benar hari yang panjang; diawali dengan pagi yang melelahkan, lalu makan malam keluarga Sehun yang lebih mirip seperti mimpi buruk. Ia mendesah berat, kemudian masuk ke dalam apartemen sederhana milik Hyesoo.

Kalau Hyesoo melihatnya sekarang, sahabatnya itu sudah pasti akan langsung mencercanya dengan seribu satu pertanyaan seperti detektif yang sedang menyelidiki kasus pembunuhan berantai. Nayoung kenal betul dengan Hyesoo. Tapi di luar dugaan, Hyesoo malah memergokinya dan hanya berkacak pinggang di ambang pintu kamarnya, lalu bertanya, “Biar kutebak. Hari buruk lainnya, huh?” Hyesoo bahkan tidak bertanya apa yang Nayoung lakukan dengan dress berwarna biru dongker selutut di tubuhnya dan stiletto berwarna krem di kakinya. Agaknya gurat wajah Nayoung, menjelaskan dengan cukup jelas, kalau hari ini memang benar-benar hari yang menguras tenaga fisik, dan juga mentalnya.

****

Sehun sebenarnya tahu, kalau semua ide pernikahan ini adalah ide ibu tirinya. Ayahnya itu tidak mungkin secara  tiba-tiba akan menyuruhnya cepat-cepat menikah dengan alasan—yang menurut Sehun—konyol kalau tidak ada hasutan dari pihak luar. Dan Sehun tahu benar dengan pihak luar mana yang dimaksud di sini.

Ibu tirinya pikir, dengan menikah, kinerja Sehun akan menurun. Ahyoung berharap konsentrasi Sehun akan terpecah antara rumah tangga dan pekerjaan, yang berujung pada turunnya kinerja Sehun dan BOOM! Kim Junmyeon akan otomatis naik jabatan; menggantikan posisi Sehun sebagai direktur utama di Sanders Group, dari jabatannya sebagai wakil direktur.

Namun satu yang tak pernah Ahyoung pelajari, kalau tidak semudah itu mengelabui Sehun. Otaknya sudah dibentuk sedemikian rupa oleh sang ayah untuk mengatasi taktik kotor musuh-musuh bisnis di luar sana. Dan Yoon Ahyoung, juga Kim Junmyeon, masuk dalam hitungannya.

TBC

A/N:

Haluuu, rasanya lama sekali tidak berjumpa T.T aku minta maaf karena updatenya sedikit molor. Ini beneran sibuk, suer deh. Tapi, diusahakan semaksimal mungkin untuk terus dilanjutkan cerita ini kalau ide memang dialirkan ke dalam otak binal ini.

Best regards,

Vi

19 thoughts on “The Lost and Love [FILE 4]

  1. Sehun gak gampang dikelabui yaa,semoga pernikahan pura2 mereka engga ketahuan dan semoga mereka bahagia. Berharap mereka bisa romantis gitu,haha..
    Ditunggu kelanjutannya kak,keep writing and fighting!!

    Liked by 1 person

  2. setelah lama ditunggu akhirnya update juga, seneng deh 🙂
    beruntung nayoung udh gk salah paham lagi dsini 🙂 dia udh ditolong sehun, harusnya nayoung berterimakasih bukan malah menuduh sehun yg tidak” hehehe….
    suho knp lihatin nayoung terus ya? jngan bilang dia suka nayoung….andweee….
    sehun-nayoung buruan nikah gih, aq tunggu moment manis mereka brdua 🙂
    jangan berantem” lagi ya ^__^

    Liked by 1 person

  3. Kyaaa hubungan mereka dimulao. Uh pasti Nayoung bakal enak banget hidupnya dpet suami kaya raya macam Oh Sehun 🙂 Jangan sampe Junmyeon naksir Nayoung apalagi merusak hubungan mereka 😦

    Like

Leave a comment